Pergantian kekuasaan pemerintahan Orde Baru oleh pemerintahan reformasi
juga berimplikasi pada perubahan kehidupan demokrasi di desa. Setidaknya
hal itu tampak dari semangat adaptasi atas demokrasi yang cukup besar
mulai tahun 1999. Bisa disimak kehadiran Badan Perwakilan Desa (BPD-1)
dan kemudian menjadi Badan Permusyawaratan Desa (BPD-2), yang bertindak
sebagai badan legislatif baru di desa, menggantikan peran Lembaga
Musyawarah Desa (LMD) sebelumnya yang dianggap bersifat monolitik dan
lebih berorientasi ke ‘atas’ atau supradesa.
Kabupaten Tuban yang akan melaksanakan Pilkades Serentak pada Tahun 2013 ini mulai sibuk, Berbarengan dengan Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur yang pelaksanaanya juga pada tahun ini. Demokrasi yang selama ini bagus sudah ternodai dengan politik uang atau semacamnya, masyarakat sudah diajarkan politik uang oleh para politikus pusat. Dari pemilihan Anggota Legislatif sampai Bupati sudah dengan permainan politik Uang, sehingga sampai sekarang Masyarakat Sudah terbiasa dan kalau tidak ada uang pesagon buat pemilih, pemilih engan untuk datang ke TPS.
Praktek demokrasi desa di bawah UU nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa memberikan landasan yang kuat bagi tegak kokohnya kekuasaan sentralistik Orde Baru bagi pengaturan pemerintahan di tingkat desa. Karakter evolusi kehidupan demokrasi kebanyakan masih bersifat seragam, tidak banyak pilihan dalam pelaksanaan demokrasi desa. Begitu pula istilah, struktur dan mekanisme pemerintahan desa telah dibakukan. Namun, ketika kekuasan otoritarian Orde Baru berakhir, maka bermunculanlah semangat anti sentralisme diiringi dengan semakin menguatnya isu federalisme. Kebijakan depolitisasi yang semula diterapkan hingga ke tingkat desa diantaranya dengan adanya politik massa mengambang (floating mass) guna mengantisipasi dampak sosial politik lalu menjadi jauh lebih longgar.
Perubahan dalam kehidupan politik yang sangat mendasar tersebut juga akibat adanya pergeseran paradigmatik politik pemerintahan desa. Pergeseran itu terlihat dari dikeluarkannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan sekaligus juga UU Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Perbedaan prinsip dalam demokrasi desa dengan perubahan regulasi ini diantaranya penggantian LMD menjadi BPD-1 yang bersifat lebih liberal.
Praktek demokrasi desa di bawah UU nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa memberikan landasan yang kuat bagi tegak kokohnya kekuasaan sentralistik Orde Baru bagi pengaturan pemerintahan di tingkat desa. Karakter evolusi kehidupan demokrasi kebanyakan masih bersifat seragam, tidak banyak pilihan dalam pelaksanaan demokrasi desa. Begitu pula istilah, struktur dan mekanisme pemerintahan desa telah dibakukan. Namun, ketika kekuasan otoritarian Orde Baru berakhir, maka bermunculanlah semangat anti sentralisme diiringi dengan semakin menguatnya isu federalisme. Kebijakan depolitisasi yang semula diterapkan hingga ke tingkat desa diantaranya dengan adanya politik massa mengambang (floating mass) guna mengantisipasi dampak sosial politik lalu menjadi jauh lebih longgar.
Perubahan dalam kehidupan politik yang sangat mendasar tersebut juga akibat adanya pergeseran paradigmatik politik pemerintahan desa. Pergeseran itu terlihat dari dikeluarkannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan sekaligus juga UU Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Perbedaan prinsip dalam demokrasi desa dengan perubahan regulasi ini diantaranya penggantian LMD menjadi BPD-1 yang bersifat lebih liberal.
• Hubungan Subordinatif
Kedudukan Kepala Desa menjadi lebih berorientasi ke ‘bawah’. Bupati/
Walikota hanya mengesahkan (tidak mengangkat lagi) Kepala Desa yang
telah dipilih langsung oleh rakyat. Jabatan Kepala Desa maksimal 10
tahun atau dua kali masa jabatan, namun Pemerintah Kabupaten dapat
mengatur sendiri lamanya masa jabatan tersebut sesuai kondisi sosial
budaya setempat. Tampak adanya kondisi yang lebih fleksibel dalam hal
masa jabatan Kepala Desa dibandingkan dengan era sebelumnya yang
diseragamkan maksimal 16 tahun (2 kali masa jabatan) untuk semua desa.
Nuansa lebih demokratis juga tampak dalam BPD-1. Dalam era ini, seseorang bisa menjadi anggota BPD-1 berdasarkan hasil pemilihan, bukan dengan penunjukkan sebagaimana yang dilakukan dalam LMD. Begitu pula pimpinan BPD-1 dipilih dari dan oleh anggota BPD-1. Pada era sebelumnya Kepala Desa dan Sekretaris Desa secara ex oficio menjadi Ketua dan Sekretaris LMD. BPD-1 memiliki fungsi legislasi, pengawasan (era sebelumnya tidak ada) dan budgeter. Namun, yang paling membuat fungsi BPD-1 sangat kuat adalah atas nama rakyat dapat meminta pertanggungjawaban kepala desa, sesuatu yang tidak pernah dimiliki sebelumnya. Dengan demikian, bisa dikatakan Kepala Desa berkedudukan sebagai subordinasi, karena tunduk dan bertanggung jawab kepada BPD-1.
Apabila dicermati dalam era ini telah terjadi dinamika dalam kehidupan demokrasi desa. Pertama, adanya keleluasaan desa untuk berkreasi dalam menyusun kebijakan desa yang disesuaikan dengan adat-istiadat, kebutuhan dan aspirasi warganya. Kedua, penghargaan terhadap keanekaragaman dan ‘otonomi asli’ dengan membuka peluang munculnya istilah lain untuk nama institusi dan jabatan desa seperti di Bali: keprebekelan untuk desa dinas, perbekel untuk kepala desa, banjar dinas untuk dusun, klian banjar dinas untuk kepala dusun. Ketiga, kehadiran BPD-1 yang sangat demokratis memungkinkan terjadinya penyebaran kekuasaan di tingkat desa dari kekuasaan monolitik di tangan kepala desa ke relasi kuasa yang lebih berorientasi pada rakyat
Nuansa lebih demokratis juga tampak dalam BPD-1. Dalam era ini, seseorang bisa menjadi anggota BPD-1 berdasarkan hasil pemilihan, bukan dengan penunjukkan sebagaimana yang dilakukan dalam LMD. Begitu pula pimpinan BPD-1 dipilih dari dan oleh anggota BPD-1. Pada era sebelumnya Kepala Desa dan Sekretaris Desa secara ex oficio menjadi Ketua dan Sekretaris LMD. BPD-1 memiliki fungsi legislasi, pengawasan (era sebelumnya tidak ada) dan budgeter. Namun, yang paling membuat fungsi BPD-1 sangat kuat adalah atas nama rakyat dapat meminta pertanggungjawaban kepala desa, sesuatu yang tidak pernah dimiliki sebelumnya. Dengan demikian, bisa dikatakan Kepala Desa berkedudukan sebagai subordinasi, karena tunduk dan bertanggung jawab kepada BPD-1.
Apabila dicermati dalam era ini telah terjadi dinamika dalam kehidupan demokrasi desa. Pertama, adanya keleluasaan desa untuk berkreasi dalam menyusun kebijakan desa yang disesuaikan dengan adat-istiadat, kebutuhan dan aspirasi warganya. Kedua, penghargaan terhadap keanekaragaman dan ‘otonomi asli’ dengan membuka peluang munculnya istilah lain untuk nama institusi dan jabatan desa seperti di Bali: keprebekelan untuk desa dinas, perbekel untuk kepala desa, banjar dinas untuk dusun, klian banjar dinas untuk kepala dusun. Ketiga, kehadiran BPD-1 yang sangat demokratis memungkinkan terjadinya penyebaran kekuasaan di tingkat desa dari kekuasaan monolitik di tangan kepala desa ke relasi kuasa yang lebih berorientasi pada rakyat
• Pembatasan Hak
Namun, penerapan demokrasi di/ dari bawah itu tidak berlangsung lama.
Seiring dengan pemberlakuan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan PP Nomor 72 tahun 2007 tentang Desa, kondisi legislative
heavy tersebut dibatasi. BPD-1 diganti menjadi BPD-2 yang berfungsi
(hanya) menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat. BPD-2 ini ditetapkan dengan cara
musyawarah dan mufakat untuk masa jabatan 6 tahun dan dapat dipilih lagi
untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Jadi, masa jabatannya maksimal
12 tahun, lebih lama 2 tahun dari era sebelumnya.
Namun, hubungan Kepala Desa dengan BPD-2 kembali ‘diserahkan’ serta diatur lebih jauh dalam Perda berdasarkan Peraturan Pemerintah. Dalam kenyataannya hubungan yang terjadi adalah sebatas koordinasi sehingga antara Kepala Desa dengan BPD-2 berkedudukan sejajar. Fungsi BPD-1 yang sangat kuat sebelumnya yakni atas nama rakyat dapat meminta pertanggungjawaban Kepala Desa dihilangkan atau tidak dimiliki lagi. Bila sebelumnya Kepala Desa berkedudukan sebagai subordinasi BPD-1, karena tunduk dan bertanggung jawab kepada BPD-1, sekarang hubungan keduanya menjadi mitra sejajar dan sebatas koordinatif.
Tampak ada dinamika demokrasi dalam sistem pemerintahan desa khususnya dalam hal kedudukan, tugas pokok dan fungsi Lembaga Perwakilan Desa. Dari sentralistis-monolitik (Lembaga Musyawarah Desa: LMD-UU No. 5/ 1979) menjadi liberal-demokratis (Badan Perwakilan Desa: BPD-1-UU No. 22/ 1999) dan akhirnya menjadi demokratis-prosedural ( Badan Permusyawaratan Desa: BPD-2-UU No. 32/ 2004 dan PP No. 72/ 2007).
Oleh : Abdurrosyid Abdi Negara ( Kaur Umum & Pemerintahan )
Namun, hubungan Kepala Desa dengan BPD-2 kembali ‘diserahkan’ serta diatur lebih jauh dalam Perda berdasarkan Peraturan Pemerintah. Dalam kenyataannya hubungan yang terjadi adalah sebatas koordinasi sehingga antara Kepala Desa dengan BPD-2 berkedudukan sejajar. Fungsi BPD-1 yang sangat kuat sebelumnya yakni atas nama rakyat dapat meminta pertanggungjawaban Kepala Desa dihilangkan atau tidak dimiliki lagi. Bila sebelumnya Kepala Desa berkedudukan sebagai subordinasi BPD-1, karena tunduk dan bertanggung jawab kepada BPD-1, sekarang hubungan keduanya menjadi mitra sejajar dan sebatas koordinatif.
Tampak ada dinamika demokrasi dalam sistem pemerintahan desa khususnya dalam hal kedudukan, tugas pokok dan fungsi Lembaga Perwakilan Desa. Dari sentralistis-monolitik (Lembaga Musyawarah Desa: LMD-UU No. 5/ 1979) menjadi liberal-demokratis (Badan Perwakilan Desa: BPD-1-UU No. 22/ 1999) dan akhirnya menjadi demokratis-prosedural ( Badan Permusyawaratan Desa: BPD-2-UU No. 32/ 2004 dan PP No. 72/ 2007).
Oleh : Abdurrosyid Abdi Negara ( Kaur Umum & Pemerintahan )
1 komentar:
Keren de......
Posting Komentar