Raskin dalam realitas di lapangan, seperti sebuah
ajang bermain judi. Orang miskin penerima beras murah tersebut ibarat ajang
untuk mengeruk keuntungan bagi kelompok-kelompok tertentu.
Dugaan penyelewengan distribusi raskin, yang kini
masih jadi tanda besar siapa para pemain yang memainkannya, seperti sebuah
arena bermain judi ketangkasan. Semua saling berlomba mencapai kemenangan
sebelum ajang itu sendiri ditutup. Dan distribusi raskin untuk keluarga miskin
(gakin) sendiri dijadwalkan akan berakhir pada bulan ini (Oktober).
“Bentuk penyimpangan yang dimainkan oleh sejumlah
oknum seperti sebuah misteri. Mereka yang diduga terlibat di dalamnya saling
cuci tangan alias mengaku tidak tahu menahu. Praktek-praktek seperti itu mudah
sekali ditebak dan tergolong mudah menjalankannya,” kata seorang warga Desa
Margorejo, Kecamatan Parengan.
Laki-laki paruh baya yang memilih diam daripada
mengkritisi kebijakan yang ada mengakui, sesungguhnya distribusi raskin tidak
tepat sasaran. Banyak orang yang mampu memperoleh jatah raskin. Tapi, orang
yang benar-benar tidak berkemampuan, justru tak memperoleh jatah.
“Soal mampu atau tidak mampu, sekarang ini batasnya
tidak jelas. Kenyataan yang ada, saat pendistribusian raskin, yang datang
mengantri pakai motor dan bawa HP. Penampilannnya modis dan glamour,” tutur
seorang kepala desa di Kecamatan Rengel yang mengaku kebingungan dengan keadaan
tersebut. “Apakah mereka pantas dikategorikan miskin?” tanyanya terheran-heran.
Setiap kali ada distribusi raskin, setiap kali itu
pula banyak dijumpai pemandangan para tengkulak menunggu penerima raskin
menjual jatahnya. Harga yang ditawarkan tengkulak memang cukup merangsang.
Yakni Rp 37.500,- untuk 7,5 kg raskin. Dari sisi ekonomis sangat menguntungkan
gakin penerima raskin. Betapa tidak, mereka cuma mengeluarkan Rp 1.500 untuk
setiap kilogram beras.
“Sekali waktu kami juga ingin makan enak seperti yang
lain. Beras yang dimasak bermutu bagus, dengan lauk yang sepadan pula,” kata
seorang perempuan di Desa Punggulrejo, Kecamatan Rengel.
Kalau tidak ada pembeli yang standby di sana, biasanya
mereka langsung menjualnya ke toko. Atau menukarnya dengan beras yang lebih
baik dengan menambah sejumlah uang. Kalau tidak begitu, beras raskin ditukar
dengan barang kebutuhan lainnya.
Namun, tidak
semua penerima jatah raskin menjualnya. Banyak pula yang memilih membawa pulang
untuk persiapan hajatan atau buwuh (menyumbang kepada orang yang punya
hajat, Red).
“Dengan adanya raskin beban kita jadi sedikit ringan,”
tutur seorang ibu rumah tangga di Kecamatan Bancar yang kehidupannya tergolong
makmur. Ia memakai perhiasan dan punya motor. Suaminya seorang perangkat desa.
“Kita ini sebenarnya tidak punya apa-apa. Yang saya pakai ini dari hasil
pinjaman,” tepis perempuan berlesung pipit itu ketika disoal tentang
keberadaannya.
Diakui atau tidak, program raskin dan lainnya, semisal
bantuan langsung tunai (BLT), tidak selalu pararel dengan jumlah orang miskin
yang sebenarnya. “Sekarang ini, begitu ada program untuk pengentasan
kemiskinan, semuanya maunya dapat. Sehinga setiap ada kerja bakti ada
kesenjangan diantara masyarakat yang memperoleh bantuan, Yang kaya juga minta
jatah,” kata seorang kepala desa di Kecamatan Jatirogo.
Menurutnya, data orang miskin yang dibuat biro pusat
statistik (BPS) tidak pas bahkan melenceng jauh. “Lantai rumahnya memang
tanah. Tapi sapinya puluhan ekor, televisi ada,HP punya, motornya dua biji,”
tuturnya.
Meski begitu, mereka tetap protes saat tidak mendapat
jatah raskin. Alasannya tidak merata dan lain sebagainya. “Seandainya boleh
memilih, lebih baik tidak ada program seperti raskin ini. Malah membuat
masalah,’ keluhnya. Di kutip dr (tubanportal.com) roy.