1. Bupati ke-1: Arya Dandang Wacana
Sepeninggal
ayahnya, Arya Dandang Wacana segera melaksanakan wasiat itu. Beliau
diikuti oleh para prajurit dan rakyatnya yang setia meninggalkan
Lumajang. Mereka bekerja keras membuka hutan Papringan yang membentang
dari lereng perbukitan sampai ke tepi pantai utara Pulau Jawa. Setelah
berhasil, tempat itu diberi nama Tuban karena di daerah itu banyak
sumber air. Jadi nama Tuban tersebut berasal dari kata = metu banyu = tubanyu = Tuban).
Dari
hari kehari hutan Papringan yang telah berubah menjadi Tuban itu
semakin ramai saja sehingga terbentuklah sebuah kabupaten. Arya Dandang
Wacana sendiri menorehkan nama sebagai adipati pertama di Kadipaten
Tuban dengan gelar Kyai Ageng Papringan.
Setelah
menjadi adipati selama ± 3 tahun kemudian mendirikan pesanggrahan yang
di sekitarnya terdapat sungai dan sendang. Di sekitar sendang banyak
ditumbuhi pohon besar, sehingga udaranya sangat sejuk. Pesanggrahan
tersebut diberi nama Bekti. Nama Bekti diambil dari kata “pangabekti”,
karena pada waktu Raden Dandang wacana sedang beristirahat di tempat
itu, masyarakat datang berduyun-duyun untuk menunjukkan rasa
pengabdian kepada junjungannya (sowan ngabekti). Bekas pesanggrahan tersebut sekarang menjadi Desa Bektiharjo.
Kyai
Gedhe Papringan menjadi adipati Tuban selama ± 30 tahun kemudian
meninggal dan dimakamkan di Kali Gunting, Desa Prunggahan, Kecamatan
Semanding.
2. Bupati ke-2: Raden Haryo Ronggolawe
Adipati
Tuban pertama, Kyai Gedhe Papringan dikaruniai dua putri yaitu Nyai
Ageng Lanang Jaya dan Nyai Ageng Ngesa. Perkawinan antara Nyai Ageng
Lanang Jaya dan Arya Wiraraja dikarunia seorang putra bernama Raden
Haryo Ronggolawe.
Raden
Haryo Ronggolawe dilantik sebagai adipati Tuban pada tahun 1215 Saka
atau 12 Nopember 1293, bersamaan dengan penobatan Raden Wijaya sebagai
raja Majapahit. Peristiwa inilah yang kemudian dijadikan titik tumpu
untuk menetapkan hari jadi Kota Tuban.
Sejarah
telah mencatat bahwa ketidakpuasan Raden Haryo Ronggolawe atas putusan
Raden Wijaya yang melantik Nambi sebagai Patih Amangkubumi memantik
terjadinya pertumpahan darah di Sungai Tambak Beras. Penegakan keadilan
dengan cara Raden Haryo Ronggolawe tersebut, mengakibatkan dirinya gugur
di medan pertempuran. Menurut Suwardjan dan Siti Alfiah (1987:18)
“Beliau wafat pada tahun 1217 Saka atau 1295 M”.
3. Bupati ke-3: Raden Sirolawe
Serat
Dhamarwulan (Hikayat Tanah Jawa) menerangkan bahwa Raden Haryo
Ronggolawe mempunyai dua orang putra: 1. Raden Buntaran dan 2. Raden
Watangan. Padahal di dalam serat Babad Tuban diterangkan bahwa
putra Ronggolawe hanya semata wayang bernama Raden Sirolawe, beliau
inilah yang menggantikan ayahanda sebagai adipati Tuban. Mungkin karena
berdasarkan etika garis keturunan, putra tertualah yang berhak menjadi
adipati (penguasa). Bisa jadi Raden Buntaran adalah Raden Sirolawe yang
menjalankan pemerintahan hingga ± 15 tahun sampai meninggal dunia.
4. Bupati ke-4: Raden Haryo Sirowenang
Sepeninggal
Raden Sirolawe yang menggantikan sebagai adipati adalah puteranya
bernama Raden Haryo Sirowenang. Lama pemerintahannya ± 43 tahun.
5. Bupati ke-5: Raden Haryo Lena
Adipati Tuban ke-5 adalah Raden Haryo Lena, putera Raden Haryo Sirowenang. Lama pemerintahannya ± 52 tahun.
6. Bupati ke-6: Raden Haryo Dikara
Makam Raden Haryo Tedjo
di Desa Dagangan Kec. Parengan
|
Raden
Haryo Dikara menggantikan ayahnya, Raden Haryo Lena. Lama
pemerintahannya ± 18 tahun. Adipati ke-6 ini dikarunia dua putrera yaitu
Raden Ayu Haryo Tedjo dan Kyai Ageng Ngraseh.
Raden Ayu Aryo Tedjo diperistri oleh “Syeh Ngabdurrahman, putra Syeh Ngali = Syeh Jalaludin ( Kyai Makam Dowo).
7. Bupati ke-7: Raden Haryo Tedjo
Pengganti
Raden Haryo Dikara adalah menantunya (suami Raden Ayu Haryo Tedjo)
yaitu Syeh Ngabdurachman, putera Syeh Djalaludin dari Gresik. Setelah
menjabat adipati ke-7, Syeh Ngabdurachman bergelar Raden Haryo Tedjo.
Lama pemerintahannya ± 41 tahun.
8. Bupati ke-8: Raden Haryo Wilatikta
Sepeninggal
Raden Haryo Tedjo, penggantinya adalah puteranya bernama Raden Haryo
Wilatikta. Lama pemerintahan Raden Harya Wilatikta ± 40 tahun. Pada
masa pemerintahannya, ada sesuatu yang patut menjadi bahan diskusi
tentang sosok Raden Haryo Wilatikta ini. Suwardjan dan Siti Alfiah
(1987:19) dengan merujuk keterangan Tome Pires ketika berkunjung ke
Tuban menuliskan, “Keluarga rajanya sekalipun beragama Islam, sejak
pertengahan abad ke-15 tetap mengadakan hubungan baik dengan maharaja
Majapahit di pedalaman. Sebagian penduduk kota Tuban pada jaman itu
masih kafir (belum masuk Islam, red.). Menurut musafir itu, raja Tuban
pada waktu itu disebut Pate Vira. Ia bukan seorang Islam yang taat
meskipun kakaknya masuk Islam.”
Selanjutnya
Suwardjan dan Siti Alfiah menjelaskan bahwa kata Vira kita kenal dengan
kata Wira, yang sering menjadi bagian dari nama Jawa. Tetapi, dapat
juga Vira dihubungkan dengan Wilatikta. Jika itu benar Wilatikta, maka
perlu kita bertanya, mengapa putra seorang ulama besar Syeh
Ngabdurrachman yang bergelar Raden Haryo Tedjo menjadi seorang muslim
yang tidak taat?
Pada
bagian lain Suwardjan dan Siti Alfiah (1987:20) dengan mengutip
pendapat H.J. de Graaf mengemukakan, bahwa sulit dibayangkan bagaimana
bisa terjadi Aria dari Tuban yang beragama Islam itu, sebagai pejabat
terkemuka di wilayah kerajaan Majapahit yang sebagian besar belum
memeluk agama Islam.” Keberatan ini tampaknya cukup beralasan karena
setiap tahun pada waktu yang ditetapkan, adipati Tuban harus tinggal
untuk beberapa lama di Majapahit dan tidak mungkin membebaskan diri dari
upacara-upacara ritual non-Islam. Upacara-upacara itu merupakan bagian
dari politik Kerajaan Majapahit.
Tampaknya,
Wilatikta adalah abdi yang lebih setia kepada rajanya daripada kepada
agamanya. Sangat masuk akal jika perbedaan paham ini sampai membuat
putranya yaitu Raden Said meninggalkan Tuban untuk tinggal di Demak.
Suwardjan dan Siti Alfiah (1987:20) mempertegas, “Jelas antara R. Harya
Wilatikta dan R. Sahid ada pertentangan besar.”
Analisis
ini diperkuat dengan kondisi objektif di Makam Sunan Bonang. Sebelah
kiri Makam Sunan Bonang antara lain bersemayam Kyai Ageng Ngraseh dan
Pangeran Balewot. Sedangkan di sebelah kanan bersemayam Kyai Ageng
Botobang dan Kyai Ageng Gegilang.
Lalu, di manakah makam Raden Harya Wilatikta?
Raden
Harya Wilatikta dimakamkan di bagian pelataran makam induk Sunan Bonang
dan keempat tokoh Tuban yang dianggap dekat dengannya. “Jadi, dapat
diterima keempat bupati yang dimakamkan dengan Sunan Bonang di atas
adalah para bupati yang masih erat dengan pengaruh para wali khususnya
Sunang Bonang” (Suwardjan dan Siti Alfiah,1987:21).
9. Bupati ke-9: Kyai Ageng Ngraseh
Pengganti
Raden Haryo Wilatikta adalah menantunya yaitu Kyai Ageng Ngraseh yang
juga putera adipati ke-6, Raden Haryo Dikara. Lama pemerintahannya ± 40
tahun.
10. Bupati ke-10: Kyai Ageng Gegilang
Sepeninggal
Kyai Ageng Ngraseh, jabatan adipati Tuban digantikan oleh puteranya
bernama Kyai Ageng Gegilang. Lama pemerintahannya ± 38 tahun.
11. Bupati ke-11: Kyai Ageng Batabang
Pengganti Kyai Ageng Gegilang adalah Kyai Ageng Batabang. Lama pemerintahannya ± 14 tahun.
12. Bupati ke-12: Raden Haryo Balewot
Adipati
Tuban ke-12 adalah putera Kyai Ageng Batabang bernama Raden Haryo
Balewot. Beliau dikaruniai dua putera yaitu Pangeran Sekartandjung dan
Pangeran Ngangsar. Lama pemerintahannya ± 56 tahun.
13. Bupati ke-13: Pangeran Sekartandjung
Raden
Haryo Balewot kemudian digantikan putera sulungnya bernama Pangeran
Sekartandjung. Adipati ke-13 ini mengalami nasib tragis karena meninggal
di tangan saudara kandungnya yaitu Pangeran Ngangsar.
Pada
waktu Pangeran Sekar Tanjung Sholat Jum’at di masjid dalam posisi rukuk
Pangeran Sekar Tanjung ditikam dari belakang oleh adiknya sendiri yaitu
Pangeran Ngangsar. Pangeran Ngangsar dalam mimpinya mendapat wasiat
maka dengan senjata keris yang bernama “Kyai Layon” ditikamlah Pangeran
Sekar Tanjung.
Pangeran
Sekar Tanjung menjadi adipati selama ±22 tahun. Pangeran Sekartandjung
dikarunia dua putera yaitu Pangeran Haryo Permalat dan Haryo Salempe.
Namun, pada waktu ayahnya meninggal dunia keduanya masih kecil/ masih
muda.
14. Bupati ke-14: Pangeran Ngangsar
Setelah berhasil membunuh saudaranya, Pangeran Ngangsar menjadi adipati Tuban ke-14. Lama pemerintahannya hanya ± 7 tahun.
15. Bupati ke-15: Pangeran Haryo Permalat
Sepeninggal
Pangeran Ngangsar, penggantinya adalah Pangeran Haryo Permalat.
Adipati Tuban ke-15 ini adalah menantu Sultan Pajang, Raden Djaka
Tingkir. Pangeran Haryo Permalat memang berseteru dengan Penguasa
Mataram yaitu Panembahan Senapati. Selama pemerintahannya, Tuban pernah
diserang oleh Mataram yaitu pada tahun 1598 dan 1599. Namun,
serangan-serangan Mataram itu gagal karena Tuban pada waktu itu
mempunyai pertahanan sangat kuat.
Lama pemerintahannya ± 38 tahun. Beliau mempunyai seorang putera bernama Pangeran Dalem.
16. Bupati ke-16: Haryo Salempe
Ketika
Pangeran Haryo Permalat mangkat, yang menggantikannya adalah Haryo
Salempe yang juga putera dari adipati ke-13. Hal ini disebabkan,
Pangeran Dalem masih kecil. Lama pemerintahannya ± 38 tahun.
17. Bupati ke-17: Pangeran Dalem (1614-1619)
Berakhirnya
pemerintahan Adipati Haryo Salempe, yang menggantikannya adalah
Pangeran Dalem. Pada tahun 1619, Tuban diserang oleh Mataram. Terjadi
pertempuran sengit yang mengakibatkan Benteng Kumbakarna jatuh ke tangan
musuh. Siasat penyusupan kekuatan Mataram ke dalam tubuh pemerintahan
Tuban berbuah kemenangan Mataram atas Tuban. Hal ini mengakibatkan
Pangeran Dalem harus menyingkir ke Bawean. Istri Pangeran Dalem bernama
Kumalarena juga meninggal di Bawean.
Sepeninggal
istrinya, Pangeran Dalem menuju ke Rajekwesi, Bojonegoro sampai
mangkat dan dimakamkan di Kadipaten, Bojonegoro. Mengapa Pangeran Dalem
justru menuju ke Bojonegoro yang begitu dekat dengan Tuban? Ternyata
salah satu alasan yang masuk akal adalah karena Pangeran Dalem mempunyai
saudara bernama R. Ayu Djamus yang sangat berpengaruh di Bedander,
Bojonegoro.
Makam
Buyut Dalem berada di dalam sebuah cungkup yang terawat dengan baik.
Namun, di samping makam utama tersebut bersemayam pula seorang tokoh
wanita pujaan hati Buyut Dalem bernama Srihuning yang mendapat julukan Mustika Tuban karena semangatnya “labuh tresna sabaya pati”.
Bersumber
dari keterangan pihak Dinas Pariwisata Kabupaten Bojonegoro dan dua
orang juru kunci makam Buyut Dalem, “Di makam ini selalu diadakan
semacam sedekah bumi yaitu jatuh pada setiap hari Rabu Wage, bulan
September. Kegiatan ritual ini diawali pada hari Rabu Pahing dengan “mayu alang-alang”
yaitu mengganti atap cungkup yang terbuat dari alang-alang. Selain itu
juga dilakukan penggantian pasir yang ada di dalam makam.”
Di dalam buku Kumpulan Cerita Rakyat Daerah Bojonegoro (2003:20) dijelaskan:
“Payon
cungkup saka makam Pangeran Dalem saben tahun ajeg didandani (saka
alang-alang), nanging sing ngerjakake sawijinging nom-noman lan kudu
kramas dhisik. Sing ngresiki platarane kudu tandhak, nanging ora oleh
diganggu.”
Artinya:
“Atap
cungkup dari makam Pangeran Dalem setiap tahun selalu diganti baru
(dari alang-alang), namun yang mengerjakan adalah seorang pemuda dan
harus keramas terlebih dahulu. Yang membersihakan pelatarannya harus
seorang tandak, akan tetapi dia tidak boleh diganggu.”
Kegiatan
ritual utama jatuh pada hari Rabu Wage. Kegiatan yang dilakukan adalah
sedekah bumi dengan menggelar uyon-uyon dan langen tayub di sekitar
makam.
18. Bupati ke-18: Pangeran Podjok
Terusirnya
Pangeran Dalem dari singgasana Kadipaten Tuban menandai pergantian
garis keturunan penguasa Tuban yakni dari garis keturunan Kyai Ageng
Papringan ke tangan garis keturunan Mataram.
Siapa sebenarnya Pangeran Podjok itu?
Menurut
H. Abdul Sarpin, Ketua Yayasan Sunan Podjok, “Pangeran Podjok menurut
Mbah Sabib, Menganti, Bugel, Jepara mempunyai nama kecil Benun. Ia juga
dikenal dengan nama Syekh Abdul Rachim. Setelah meninggal baru dijuluki
dengan nama Pangeran Podjok. Alasannya karena meninggal di Desa Podjok,
Blora.”
Gatot
Pranoto, S.E., ketua Yayasan Mahameru yang juga tokoh sejarawan Blora
dengan merujuk Babad Mentawis menerangkan bahwa pada masa pemerintahan
Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645) mempunyai semacam skala
prioritas antara lain Kadipaten Tuban yang selama ini menjadi batu
ganjalan bagi Mataram harus segera ditakhlukkan. Oleh karena itu, Sultan
Agung mengeluarkan “Kekancing” (semacam surat perintah tugas) kepada Benun yang saat itu menjabat sebagai Surobahu; setingkat dengan tumenggung. Inti dari “Kekancing” itu adalah tugas untuk memadamkan pemberontakan Tuban.
Makam Pangeran Pojok di Blora
|
Misi
dari Surobahu Abdul Rachim ternyata berhasil dengan baik (1619).
Pergantian penguasa di Tuban ini tentunya menempatkan Surobahu Abdul
Rachim untuk menjaga stabilitas Tuban. Adipati Tuban ke-18 ini
menjalankan tugasnya ± 42 tahun.
Menurut
R. Soeparmo (1972:85) “Pada hari grebeg maulud tahun Dal semua bupati
di seluruh tanah Jawa datang ke Mataram untuk menghadap Sri Sultan.
Demikian pula halnya dengan bupati Pangeran Podjok. Tetapi ketika
perjalanan beliau menuju Mataram sampai Blora, beliau mendadak sakit dan
mangkat di situ juga.”
Menurut
Asmoengin TA., Kasi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Kabupaten Blora (1982:25) “Pangeran Surobahu Abdul Rachim adalah perwira
dari Mataram yang berhasil memadamkan kerusuhan di pesisir utara
(Tuban). Sepulang dari Tuban di perjalanan jatuh sakit dan meninggal
dunia di Desa Pojok (Blora). Oleh putranya dipindahkan di tempat yang
sekarang.”
Pada
waktu berziarah ke makam tersebut, tim penggali sejarah mendapatkan
fakta bahwa di kompleks Makam Gedong/Pagedongan yang terletak di Kauman,
sebelah selatan alun-alun Kota Blora bersemayam antara lain: 1.
Pangeran Surobahu Abdul Rachim, 2. Pangeran Joyodipo (putra Pangeran
Surobahu Abdul Rachim yang juga Bupati Blora I), 3. Joyodiwiryo (adipati
Blora), 4. Pangeran Joyokusuma (adipati Blora), Istri Pangeran
Joyokusuma dan kerabat kadipaten lainnya.
19. Bupati ke-19: Pangeran Anom
Setelah
Pangeran Podjok meninggal, yang menggantikan adalah adiknya bernama
Pangeran Anom. Lama pemerintahannya ± 12 tahun. Beliau diberhentikan
dari jabatan adipati Tuban atas perintah Sultan Agung Mataram.
Menurut
R. Soeparmo (1972:84) di Kabupaten Tuban untuk sementara waktu jabatan
bupati ditiadakan. Konsekuensinya, Tuban diberikan semacam perwakilan
yang disebut dengan istilah “Umbul” (setingkat kademangan) sebanyak
empat orang yaitu:
1) Umbul Wongsoprodjo yang ditempatkan di Jenu
2) Umbul Wongsohito yang ditempatkan di Gesikharjo (Palang)
3)Umbul Wongsotjokro yang ditempatkan di Kidul Ngardi (Sebelah selatan gunung = Rengel)
4) Umbul Joedoputro yang ditempatkan di Singgahan.
20. Bupati ke-20: Arya Balabar
Adipati
Tuban ke-20 adalah Arya Balabar atau Arya Blender yang juga berasal
dari keturunan Mataram. Lama pemerintahannya ± 39 tahun. Salah satu
yang dilakukan pada waktu memerintah di Tuban adalah membuat masjid
terletak sebelah barat makam Sunan Bonang.
21. Bupati ke-21: Pangeran Soedjonopuro
Setelah
Pangeran Arya Balabar mangkat, penggantinya adalah Pangeran
Soedjonopuro yang semula menjabat Bupati Japanan (Mojokerto). Lama
pemerintahannya ± 10 tahun sampai beliau wafat.
22. Bupati ke-22: Pangeran Joedonegoro
Pengganti Pangeran Soedjonopuro adalah puteranya yaitu Pangeran Joedonegoro. Lama pemerintahannya ± 15 tahun.
23. Bupati ke-23: Raden Arya Surodiningrat
Pangeran
Joedonegoro setelah wafat yang menggantikan menjadi Bupati adalah Raden
Aryo Surodiningrat yang berasal dari Pekalongan. Pada waktu memerintah,
terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh R. Arya Diposono.
Pemberontakan ini dibantu oleh orang Madura bernama “Kyai Mangundjojo“.
Raden Aryo Surodiningrat tewas dalam peperangan. Lama pemerintahannya ±
12 tahun.
24. Bupati ke-24: Raden Aryo Diposono
Raden
Arya Surodiningrat yang gugur di medan pertempuran melawan pemberontak,
akhirnya digantikan oleh Raden Aryo Diposono. Tercatat dalam sejarah,
waktu memegang pemerintahan terjadi pertempuran dengan orang-orang
Madura yang dahulu mendukungnya. Pertempuran itu terjadi di Desa Singkul
atau Sedayu. Raden Aryo Diposono juga gugur dalam medan pertempuran.
Lama pemerintahannya ± 16 tahun.
25. Bupati ke-25: Kyai Reksonegoro
Jabatan
adipati Tuban berikutnya digantikan oleh Patih Kyai Reksonegoro.
Setelah menjabat adipati bergelar Kyai Tumenggung Tjokronegoro. R.
Soeparmo (1972:86) memberikan penjelasan bahwa pada tahun 1773 Gubernur
Van der Burgh mengusulkan kepada Sultan Agung Mataram agar bupati Tuban
dipecat karena kebijakan pemerintahannya memberatkan penduduk dan tidak
dapat memenuhi tugasnya yaitu membayar upeti kepada Belanda. Lama
pemerintahan Kyai Tumenggung Tjokronegoro ± 47 tahun.
26. Bupati ke-26: Kyai Poerwonegoro
Sepeninggal
Kyai Reksonegoro, penggantinya adalah puteranya yaitu Kyai
Poerwonegoro. Setelah memerintah selama ± 24 tahun, beliau menderita
sakit dan mengambil perlop atau cuti. Oleh karena itu, beliau terkenal
dengan sebutan Bupati Perlop.
Makam Citrosomo VI di
Desa Sendang Kab. Jepara
|
27. Bupati ke-27: Kyai Lieder Soerodinegoro
Pengganti Kyai Poerwonegoro adalah Kyai Lieder Soerodinegoro. Lama pemerintahannya hanya ± 3 tahun.
28. Bupati ke-28: Raden Poerjoadiwidjojo
Setelah
Kyai Lieder Soerodinegoro mangkat, yang menggantikan sebagai adipati
Tuban adalah puteranya Raden Poerjoadiwidjojo atau Raden Tumenggung
Soerojodinegoro . Lama pemerintahannya ± 12 tahun. Setelah itu beliau
berhenti dari jabatan bupati.
29. Bupati ke-29: Pangeran Tjitrosomo VI (1800-1836)
Ketika Raden Poerjoadiwidjojo berhenti dari jabatan adipati Tuban yang menggantikan adalah Pangeran Tjitrosomo VI dari Jepara.
Tim
penggali sejarah mendapatkan kesempatan untuk melacak silsilah Pangeran
Tjitrosomo di Jepara. Atas bantuan Dinas Pariwisata dan Dinas
Pendidikan Kabupaten Jepara, tim penggali berhasil bertemu dengan salah
satu keturunan Tjitrosomo. Beliau bernama Raden Moeh Akrom Wijanarko
yang tinggal di Purwogondo, Kecamatan Pecangakan, Jepara. Bukti bahwa
beliau keturunan Tjitrosomo adalah dengan diperolehnya Piagam
Mangkunegaran, Surakarta tertanggal 13 Juni 1988. Bersumber dari data
koleksi pribadi yang dibukukan dalam Silsilah Citrosoman inilah tim penggali sejarah mendapatkan sumber yang sangat berharga.
Siapakah sebenarnya Pangeran Tjitrosomo VI itu?
Pangeran
Tjitrosomo VI adalah putra ke-8 dari R.M.A.A. Citrosomo V, Bupati
Jepara yang semula menjadi bupati di Kudus dengan nama dan gelar
R.M.A.A. Mangkuwidjojo. Nama asli dari Tjitrosomo VI adalah R.M.Ng.
Notowidjoyo I. Sepeninggal ayahnya, beliau menggantikan kedudukan
sebagai adipati Jepara. Beliau kemudian ditugaskan untuk menjadi adipati
Tuban. Jasanya selama memerintah di Tuban adalah membangun rumah
kabupaten pada tahun 1821 yang menjadi tempat kediaman bupati sampai
sekarang.
Setelah memerintah selama ± 6 tahun, beliau dipindahkan
ke Lasem. Masa pemerintahannya di Lasem berjalan ± 3 tahun dan akhirnya
kembali menjadi adipati Jepara dalam masa Perang Diponegoro
(1825-1850). Pada makam beliau yang terletak di Desa Sendang,
Kecamatan Kalinyamatan, Jepara tertulis masa pemerintahannya di Jepara
yaitu tahun 1800-1836.