15 April 2013

Mengapa Demokrasi Kita Mahal.....?

PENYELENGGARAAN Pileg, Pilpres,Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Pilkades sebagai salah satu tahapan proses berdemokrasi di negeri ini, benar-benar berbiaya mahal. Ongkos mahal yang harus dibayar rakyat bukan nominal uang semata. Efek negatifnya bahkan menelan puluhan nyawa.
Kementerian Dalam Negeri mencatat pengeluaran negara untuk penyelengaraan pemilukada langsung dalam beberapa tahun terakhir, sekitar Rp 20 triliun. Sebuah Koran lokal di Makassar pernah menurunkan laporan bahwa untuk penyelenggaraan pemilukada gubernur Sulawesi Selatan beberapa waktu lalu, biayanya mencapai Rp 500 miliar.
Mahal atau tidak? Bisa diperdebatkan. Tidak ada angka pembanding. Misalnya, biaya penyelenggaraan pemilu di negara lain. Okelah..! Berapa pun nilainya, patutlah dicamkan, uang negara yang digunakan untuk pemilukada, sering pula disebut pesta demokrasi, bersumber dari pajak hasil keringat rakyat.
Lihat pula efek yang ditimbulkannya. Walaupun biaya besar tidak soal selama tujuan berdemokrasi tercapai, yakni peningkatan kesejahteraan umum. Setidaknya, semakin mendekati kenyataan, bukan masalah. Persoalannya, jika biaya sudah besar, tetapi kesejahteraan umum justru terasa kian menjauh dari perasaan rakyat. Itulah pekerjaan sia-sia yang luar biasa merugikan.
Betapa tidak. Sudah besar biayanya, timbul pula efek negatif lain yang sangat merugikan dan memprihatinkan. Misal, karena ketidaksiapan berdemokrasi di tingkat bawah, lalu tidak siap menerima kekalahan sehingga timbul bentrok antar pendukung calon. Kementerian dalam negeri juga mencatat, tindakan anarkistis yang menyertai pemilikada sudah menelan korban jiwa sampai lima puluhan orang. Sungguh memprihatinkan dan patut dicegah terus terjadi.
Kerusakan aset milik negara, aset pemerintah daerah dan harta benda masyarakat, juga tak kalah besarnya, lantaran banyaknya aksi anarkistis yang menyertai pemilu. Kasus terakhir di Palopo, Sulawesi Selatan. Akibat kemarahan karena tidak siap menerima kekalahan, akibat adanya ketidakjujuran, maka ada yang mengambil jalan pintas menyelesaikan persoalan dengan cara anarkistis. Membakar kantor-kantor pemerintahan, kantor nonpemerintah sampai harta benda rakyat sendiri.
Sebelumnya, di Kabupaten Puncak, Papua, sebanyak 17 jiwa melayang sia-sia gara-gara pemilukada juga. Kemendagri mencatat sudah 50 korban jiwa tertelan dalam pusaran arus liar pesta demokrasi senusantara.
Dari penelitian Kemendagri pula, anggaran yang dikeluarkan calon kepala daerah tidak sebanding dengan penghasilannya. Contohnya, seorang calon gubernur diperkirakan setidaknya musti menyiapkan anggaran Rp 100 miliar sampai Rp 200 miliar, sementara untuk calon bupati dan walikota, minimal harus menyiapkan Rp 30 miliar sampai Rp 40 miliar. Bagaimana dengan calon Kepala Desa harus menyiapkan berapa Juta untuk mencalonkan menjadi Kepala Desa, di masyarakat sudah umum mendengar bahwa Pemilih tanpa ada embel - embel Uang Saku atau ganti Rugi untuk kerja satu hari tidak akan datang ke TPS . Sungguh ironi Demokrasi kita kalau dibiarkan seperti ini.
Inilah salah satu pemicu juga. Para calon habis-habisan membelanjakan uang untuk meraih suara terbanyak agar memenangkan kontestasi. Para tim sukses yang telah mendapat gelontoran dana, lantas menjumpai hasil akhir kontestasi mengecewakan, biasanya memprovokasi massa pendukung untuk tidak menerima kenyataan. Provokasi tak terkendali menimbulkan aksi anarkistis tadi.
Apa yang dicari gubernur, bupati, walikota, Kepala Desa? Jika hendak meraih kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat, mengabdi pada bangsa, maka itulah hakikat demokrasi yang kita bangun bersama. Tetapi jika hendak meraih kemakmuran sendiri dan keluarga saja, tentu bukan di sana tempatnya. Salah sasaran.

2 komentar:

moh.chomsin mengatakan...

betul-betul...good,

Pemdes Tlogoagung mengatakan...

Makasih Pak Komenya, emang benar kan Demokrasi kita mahal....
Kalau Demokrasi islam gk kayak begini...