PENYELENGGARAAN Pileg, Pilpres,Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Pilkades sebagai salah
satu tahapan proses berdemokrasi di negeri ini, benar-benar berbiaya
mahal. Ongkos mahal yang harus dibayar rakyat bukan nominal uang semata.
Efek negatifnya bahkan menelan puluhan nyawa.
Kementerian
Dalam Negeri mencatat pengeluaran negara untuk penyelengaraan
pemilukada langsung dalam beberapa tahun terakhir, sekitar Rp 20
triliun. Sebuah Koran lokal di Makassar pernah menurunkan laporan bahwa
untuk penyelenggaraan pemilukada gubernur Sulawesi Selatan beberapa
waktu lalu, biayanya mencapai Rp 500 miliar.
Mahal atau tidak?
Bisa diperdebatkan. Tidak ada angka pembanding. Misalnya, biaya
penyelenggaraan pemilu di negara lain. Okelah..! Berapa pun nilainya,
patutlah dicamkan, uang negara yang digunakan untuk pemilukada, sering
pula disebut pesta demokrasi, bersumber dari pajak hasil keringat
rakyat.
Lihat pula efek yang ditimbulkannya. Walaupun biaya besar
tidak soal selama tujuan berdemokrasi tercapai, yakni peningkatan
kesejahteraan umum. Setidaknya, semakin mendekati kenyataan, bukan
masalah. Persoalannya, jika biaya sudah besar, tetapi kesejahteraan umum
justru terasa kian menjauh dari perasaan rakyat. Itulah pekerjaan
sia-sia yang luar biasa merugikan.
Betapa tidak. Sudah besar
biayanya, timbul pula efek negatif lain yang sangat merugikan dan
memprihatinkan. Misal, karena ketidaksiapan berdemokrasi di tingkat
bawah, lalu tidak siap menerima kekalahan sehingga timbul bentrok antar
pendukung calon. Kementerian dalam negeri juga mencatat, tindakan
anarkistis yang menyertai pemilikada sudah menelan korban jiwa sampai
lima puluhan orang. Sungguh memprihatinkan dan patut dicegah terus
terjadi.
Kerusakan aset milik negara, aset pemerintah daerah dan
harta benda masyarakat, juga tak kalah besarnya, lantaran banyaknya aksi
anarkistis yang menyertai pemilu. Kasus terakhir di Palopo, Sulawesi
Selatan. Akibat kemarahan karena tidak siap menerima kekalahan, akibat
adanya ketidakjujuran, maka ada yang mengambil jalan pintas
menyelesaikan persoalan dengan cara anarkistis. Membakar kantor-kantor
pemerintahan, kantor nonpemerintah sampai harta benda rakyat sendiri.
Sebelumnya,
di Kabupaten Puncak, Papua, sebanyak 17 jiwa melayang sia-sia gara-gara
pemilukada juga. Kemendagri mencatat sudah 50 korban jiwa tertelan
dalam pusaran arus liar pesta demokrasi senusantara.
Dari
penelitian Kemendagri pula, anggaran yang dikeluarkan calon kepala
daerah tidak sebanding dengan penghasilannya. Contohnya, seorang calon
gubernur diperkirakan setidaknya musti menyiapkan anggaran Rp 100 miliar
sampai Rp 200 miliar, sementara untuk calon bupati dan walikota,
minimal harus menyiapkan Rp 30 miliar sampai Rp 40 miliar. Bagaimana dengan calon Kepala Desa harus menyiapkan berapa Juta untuk mencalonkan menjadi Kepala Desa, di masyarakat sudah umum mendengar bahwa Pemilih tanpa ada embel - embel Uang Saku atau ganti Rugi untuk kerja satu hari tidak akan datang ke TPS . Sungguh ironi Demokrasi kita kalau dibiarkan seperti ini.
Inilah
salah satu pemicu juga. Para calon habis-habisan membelanjakan uang
untuk meraih suara terbanyak agar memenangkan kontestasi. Para tim
sukses yang telah mendapat gelontoran dana, lantas menjumpai hasil akhir
kontestasi mengecewakan, biasanya memprovokasi massa pendukung untuk
tidak menerima kenyataan. Provokasi tak terkendali menimbulkan aksi
anarkistis tadi.
Apa yang dicari gubernur, bupati, walikota, Kepala Desa? Jika
hendak meraih kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat, mengabdi pada
bangsa, maka itulah hakikat demokrasi yang kita bangun bersama. Tetapi
jika hendak meraih kemakmuran sendiri dan keluarga saja, tentu bukan di
sana tempatnya. Salah sasaran.
2 komentar:
betul-betul...good,
Makasih Pak Komenya, emang benar kan Demokrasi kita mahal....
Kalau Demokrasi islam gk kayak begini...
Posting Komentar