Add caption |
Dia adalah Sulastri (78), warga Desa Karangagung, Palang. Tidak
seperti kebanyakan warga desa itu yang menggantungkan hidupnya pada
laut, Mbah Lastri–demikian ia biasa disapa–masih setia dengan canting
batiknya. Tubuh rentanya memang tak sekuat dulu. Dalam sebulan, belum
tentu ia bisa menyelesaikan satu lembar kain batik. Apalagi minat pasar
terhadap batik tulis tradisional semakin hari semakin menipis. ” Ya
tergantung pesanan. Kalau ada pesanan ya mbatik, kalau ndak ada ya ndak
bikin,” kata Mbah Lastri, saat kotatuban.com mengunjunginya, Sabtu (25/9).
Sebulan,
menurut pengakuan Mbah Lastri, belum tentu ada pesanan datang.
Rata-rata ia hanya mampu mengerjakan pesanan 3-4 lembar dalam 6 bulan.
Selain pesanan yang memang cenderung sepi, Mbah Lastri juga sudah tidak
mampu lagi berlama-lama duduk di kursi kecilnya, mengukir kain mori
dengan malam (cairan untuk membantik, red).
Semua proses
batik total ia kerjakan sendiri, dari memberi pola motif pada kain,
mengukirnya satu-per satu dengan malam, hingga memberi warna. Untuk
selembar kain batik karyanya, Mbah Lastri memasang harga Rp 250-400
ribu, tergantung motif yang dipilih pemesannya.
Cukup mahal
memang. Tetapi jika dibanding betapa susahnya mengukir kain menjadi
sebuah karya seni luar biasa itu, Rp 500 ribu/lembar pun kiranya layak.
Diakuinya, harga yang lumayan mahal menurut ukuran kantong kebanyakan
masyarakat, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sepinya
permintaan pasar terhadap batik tulis tradisional.
Hanya kalangan
tertentu yang hingga kini masih merasa perlu memiliki kain batik tulis
tradisional. Pasar luar negri memang terbuka, tetapi bagi perajin
seperti Mbah Lastri, jangankan luar negeri, Surabaya saja tidak pernah
terlintas di pikirannya untuk menjadi sasaran pasar produk-produk
adiluhung itu.
” Saya ndengar katanya ya dijual ke Bali. Tapi saya
ndak mikir mau dijual ke mana. Asal ada pemesan ya saya bikinkan.
Biasanya ya orang-orang dari “kulonan” (Jawa Tengah,red) yang memesan.
Orang sini ya ndak ada,” cerita Mbah Lastri.
Di tempat Mbah Lastri
bemukin, saat ini hanya tinggal beberapa orang yang masih terlihat
membatik. Tak genap hitungan jari. Usia mereka rata-rata tak beda jauh
dengan Mbah Lastri. Batik Karangagung sendiri kurang begitu dikenal di
pasaran batik. Bahkan tidak banyak yang tahu jika di desa pesisir Tuban
yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Lamongan ini terdapat
perajin-perajin batik yang memiliki corak dan motif tersendiri.
”
Pasar lebih mengenal Batik Gedog dibanding batik tulis,” kata Joko
Wahono, SE, MM, salah seorang pengamat sosial-ekonomi di Tuban. Ada
beberapa faktor yang menjadi penyebabnya.
Menurut lulusan
Cambridge University, Australia ini, faktor utama penyebab terjadinya
marjinalisasi pasar batik tulis tradisional, adalah kebijakan Pemerintah
setempat yang lebih berpihak pada batik gedok.
Memang pada
perkembangan berikutnya batik gedog mampu eksis di pasar batik nasional,
bahkan dunia. Tetapi itu harus dibayar mahal dengan “sekaratnya” batik
tulis tradisional. ” Sekarang batik gedog bukan lagi dikerjakan
masyarakat Kerek, tetapi juga diproduksi perajin-perajin sentra batik di
luar kerek,” kata Joko.
Nilai ekonomis batik gedok yang lebih
menjanjikan dibanding batik tulis tradisional, menjadi alasan logis para
perajin batik tulis tradisional meninggalkan komuditinya, dan berpindah
memproduksi batik gedok.
Data dari Seksi Perindustrian Bagian
Perekonomian dan Perdagangan Dinas Perekonomian dan Pariwisata Tuban,
jumlah perajin batik saat ini sebanyak 322 orang, tersebar di 6
Kecamatan. ” Yang terbanyak di Kerek,” kata Heri Purnomo, SE, Kepala
Seksi Perindustrian.
Dari jumah perajin tersebut, tercatat Rp Rp 1.993.172.000 omzet pedagang batik di tahun 2009-2010. Dari kotatuban.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar